ESAI 

MENYOAL WAJAH BARU SASTRA KITA

Esai Chudori Sukra

 

________________________________________________________________

 

Demi mempertahankan kepentingan ekonomi dan politiknya, kebanyakan sastrawan di era milenial ini merasa keberatan memasuki wilayah sastra yang mengajak pada keteraturan dan keharmonisan. Dengan tetap menyandarkan diri pada kejayaan liberalisme yang menjanjikan “kebebasan berekspresi”, mereka akan berdalih untuk tetap pada paradigma berpikir yang cerderung chaos dan absurd melulu.

Dalam batin dan sanubari mereka, tentu menyadari bahwa dongeng-dongeng liberal itu cacat secara moral. Tetapi di sisi lain, mereka masih bertahan pada dalil fundamental, bahwa pentingnya fiksi-fiksi kapital dan liberal dipertahankan, oleh karena fungsinya yang tetap valid dalam menjaga stabilitas dan keamanan global. Terutama, jika mereka tengah menghadapi momentum yang tepat, ketika serangan fanatisme agama dinilai jauh lebih membahayakan ketimbang efek budaya liberal yang dipropagandakan.

Jadi, dengan kokohnya penjagaan sistem dan bertahannya rezim liberal, perlukah bagi saya untuk membelanya, dalam arti menyensor diri sendiri, dengan dalih demi mengamankan kebebasan berpendapat yang ujung-ujungnya mereka tetap akan mengkerangkeng pemikiran kritis yang dianggap merongrong kewibawaan dan stabilitas ngara?

Itulah yang membuat saya memilih untuk berdebat atau berdiksusi secara terbuka, khususnya perihal kemunculan novel “Pikiran Orang Indonesia” yang ditulis oleh seorang sarjana filsafat tersebut. Secara implisit, novel itu menyatakan adanya keuntungan dari iklim liberalisme ketimbang ideologi lainnya, karena sifatnya yang lentur dan fleksibel. Berbeda dengan fasisme maupun fanatisme agama apapun yang cenderung dogmatis.

Di bawah pemerintahan Jokowi, ideologi ini bisa menopang kritik lebih baik ketimbang orde sosial sebelumnya. Jokowi seakan memosisikan dirinya selaku “penengah”, meskipun ia tidak terang-terangan mengacu pada liberalisme, namun setidaknya ia dapat membanggakan diri sebagai penyelamat dari krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini, sejak fanatisme DI/TII, pemimpin PKI yang (menurut Soekarno) keblinger,  juga otoritarianisme Orde Baru. Bagi Jokowi, orde yang liberal ini masih dimungkinkan berfungsi sebagai “orde demokrasi” yang mengizinkan orang-orang untuk mempertanyakan, bahkan kepada fondasinya sendiri.

Dalam skala global, yang ditunjang oleh ribuan karya-karya sastra kapital di Eropa-Amerika pasca abad pertengahan, kemudian memasuki era perang dunia pertama, fasisme NAZI tahun 1930-an, lalu tantangan komunisme di era tahun 1950 hingga 1970-an. Itulah era di mana para penulis dan cendekiawan dunia dan Indonesia, masih menyandarkan diri pada ingatan kolektif: “Kalau kalian teriak-teriak bahwa liberalisme itu membahayakan, coba perhatikan faktanya dalam sejarah, betapa buruknya kejadian dan peristiwa dunia di tahun 1938 hingga 1968 lalu?”

 

Situasi dalam negeri

 

Jika kita melihat film dokumenter terbaik yang meraih Piala Citra (2024), kemudian menggabungkan peristiwanya dengan novel Pulang (Leila Chudori) hingga novel Pikiran Orang Indonesia (Hafis Azhari), terasa adanya kegentingan dan kepanikan bangsa Indonesia di era tahun 1965 dan beberapa tahun sesudahnya. Pertarungan ideologi yang sengit ketika republik baru seumur jagung, dan sedang sibuk mencari format ideal untuk identitas kebangsaan, tiba-tiba Amerika dan negeri-negeri industri justru mendukung ambisi penguasa lokal dari kalangan militer (Angkatan Darat).

Di tahun 1968, di tengah tarik-menariknya kekuatan politik dalam era perang dingin, demokrasi liberal terlihat seperti spesies yang terancam. Hal itu terlihat jelas melalui guncangan huru-hara politik, tarik-menariknya kekuatan ideologi dunia, hingga serangan kaum teroris di berbagai negeri. Ketika kerusuhan Washington berlangsung, kemudian menyusul terbunuhnya Martin Luther King, kondisi di negeri kita bukanlah dalam posisi baik-baik saja. Akan tetapi, bila kita mencermati film peraih nominasi Oscar, The Act of Killing (2012), akhirnya bisa kita sandingkan dengan kenyataan sejarah dalam 32 tahun kebisuan dan kesenyapan di negeri ini. Mereka yang hanya menjabat selaku tokoh hingga anggota partai, termasuk ormas kewanitaan telah difitnah secara masif, dan ribuan orang tewas dalam jeruji besi maupun pembuangan di Pulau Buru.

“Mereka adalah saudara-saudara kita, sebangsa dan setanah air, yang jasa-jasa besarnya sebagai bapak bangsa, telah ditenggelamkan dalam percaturan sejarah politik Indonesia,” demikian tegas Lola Amaria, sang sutradara film Eksil.

 

Tantangan baru

 

Pada prinsipnya, liberalisme dibangun berdasarkan kepercayaan pada kebebasan manusia. Tapi bukan sepesies makhluk seperti tikus dan jangkrik yang diisyaratkan punya kehendak sebebas-bebasnya.Dan dalam sejarahnya, terlihat jelas bahwa kehendak bebas manusia bukanlah kenyataan ilmiah. Ia hanyalah jadi-jadian, laiknya mitos yang diwariskan dari teologi Kristiani, maupun akibat dari otoritarianisme raja-raja Hindu-Budha di wilayah Nusantara.

Karya sastra yang mendasarkan diri pada semangat monoteisme, akan mencapai ending di mana pembaca akan memahami rahasia keadilan Tuhan. Ia bukan merupakan anti-tesis dari konservatifitas agama, melainkan upaya pencarian jati-diri manusia, hingga mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi. Misalnya, dalam karya-karya ketuhanan Leo Tolstoy, Solzhenitsyn, Elie Wiesel, hingga Taha Husein. Mereka mencari sintesis pada upaya pencarian kebenaran melalui jalur sastra yang dipadukan dengan religiositas (baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi).

Dalam cerpen saya di Koran Tempo, “Jimat dari Mayor Gibran” (10 Maret 2024), seakan tergambar perihal kewenangan Tuhan dalam menghukum pendosa lantaran pilihan pada kebebasan kehendaknya. Pilihan untuk tunduk di jalan kesesatan, pada waktunya membuat sang tokoh terperosok ke dalam lubang yang semula telah ia gali sendiri. Di sisi lain, disampaikan pula dakwah universal bahwa Tuhan akan mengganjar dan memberi kebaikan bagi mereka yang memilih jalan hidup dalam kebaikan dan kesalehan.

Hal ini tercermin jelas pada kejadian-kejadian yang dialami para tokoh dalam novel Perasaan Orang Banten, bahwa efek dari perbuatan baik, tidak akan menyasar kepada tokoh-tokoh lain, melainkan pasti akan kembali kepada sang pelaku kebaikan itu sendiri.

Jelas berbeda dengan genre sastra realisme gaya Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisjahbana hingga generasi Eka Kurniawan, A.S. Laksana dan Ayu Utami. Sementara, Hafis Azhari mendasarkan diri pada sastra monoteisme, yang membebaskan pilihan pada tokoh-tokoh yang  merefleksikan kehendak bebas dari jiwa abadi manusia yang dimerdekakan.

Dalam Pikiran Orang Indonesia, juga secara eksplisit digambarkan bahwa setiap manusia punya kehendak, meskipun tidak sepenuhnya bebas. Aris dan Arif adalah dua tipikal dari penokohan yang tidak dapat memutuskan hasrat yang harus mereka pilih sepenuhnya. Pada prinsipnya, mereka tak mampu menjatuhkan pilihan untuk menjadi pribadi yang introvert ataukah ekstrovert. Aris tak menghendaki adanya kecemasan, tetapi sistem memperjalankan dia dalam situasi kecemasan, hingga delusi paraonia dan skizofrenia.

Manusia mampu membuat pilihan, tetapi pilihan itu toh tidak pernah independen. Setiap pilihan bergantung pada sekelumit kondisi biologis, sosial, dan personal, yang tidak dapat ia tentukan sendiri sepenuhnya.

Melaui tokoh Aris dan Arif, sang penulis seakan membiarkan para tokoh memilih apa yang harus mereka makan, pada jurusan apa melanjutkan pendidikan, bahkan siapa yang mereka nikahi. Akan tetapi, pilihan-pilihan itu tetap ditentukan oleh situasi kondisi yang tak lepas dari faktor genesis, keluarga, biokimia, jender hingga latar belakang kesukuan, kebangsaan dan keagamaan.

Dalam corak penulisan sastra di abad-abad pertengahan, banyak hal-hal tersebut dianggap abstrak, tetapi saat ini (terutama melalui perkembangan sains dan teknologi), fenomena tersebut dapat dengan mudah kita pahami. Coba saja Anda perhatikan, siapa itu penulis novel Pikiran Orang Indonesia? Dari mana asalnya? Kuliah di jurusan apa? Dan siapakah orang-orang yang pernah dia hubungi di masa lalunya? Semuanya itu, tak lepas dari cerminan karakteristik para tokoh yang ditampilkan, yang tiba-tiba keluar melalui alam bawah sadarnya.

Tentu saja perasaan dan pikiran independen Hafis Azhari, juga amat menentukan, tetapi ia hanya punya kendali kecil dari pergerakan alam bawah sadarnya. Ia takkan sanggup menulis karya sastra yang berkaitan dengan mitos-mitos orang Bali seperti Putu Fajar Arcana. Ia juga akan kesulitan untuk mengungkap relung-relung terdalam dari mitologi ajaran Kejawen, karena di masa lalunya, Hafis tergenangi oleh nafas monoteisme Islam yang berkembang di ranah Banten.

Bahkan, dikarenakan ia lahir di lingkungan keluarga saudagar NU, maka narasi-narasi yang disuguhkannya, juga karakter dan dialek yang dipakainya, tak lepas dari dialek Jakarta sebagai pusat ibukota, di mana jalur perdagangan, iklim politik, hingga kebudayaan liberal telah bercokol selama beberapa dekade di wilayah itu. []

 

Penulis adalah anggota Mufakat Budaya Indonesia, menulis esai dan prosa di harian Kompas, Koran Tempo, Republika, Jurnal Toddoppuli, ruangsastra.comkabarmadura.idnusantaranews.cokompas.idalif.id, NU Online dan lain-lain.

 

Related posts

Leave a Comment

six + six =